welcome to Ngali

Anda sedang memasuki kawasan peristiwa Ngali dan sekitarnya, silahkan tinggalkan komentar anda berikut nama dan alamat email anda

Selasa, 25 Agustus 2009

semusim bawang



SEMUSIM BAWANG(untuk seorang kawan yang bergelut di Desa)



*oleh: Edi Kurniawan
Di pertengahan Juli, musim kemarau telah setengah perjalanan. Di bulan itu musim panen bawang pertama telah usai, lalu segera akan dimulai musim tanam kedua.

Langit pagi di bulan Juli sangatlah cerah, sebentar lagi akan siang dan bumi akan mengerang panas. Sebagian orang merasa gerah, sebagian lain mengeluh terik dan kau tahu warga ngali Kecamatan Belo-Bima punya pendapat tersendiri ”inilah cuaca yang kami inginkan”. Betapa tidak, musim kemarau yang dinanti-nanti tak pernah benar-benar kemarau. Mengapa tak pernah benar-benar kemarau? mari kita coba tengok ke belakang alias flashback!!. bulan Pebruari, So Ngali dan sekitar sudah bersih, padi menguning sudah disabit habis. Tunggulah sebentar lagi sampai habis bulan untuk memberi kesempatan pada langit menuntaskan sisa-sisa air tumpahannya. Untuk waktu senggang itu tak apalah kita pilihkan satu tempat untuk adu jotos kita, namanya Ndempa Ndiha. dari namanya kita akan melakukannya ramai-ramai. Kau tahu kita pernah melakukannya, bahkan rutin tiap tahun pada akhir musim yang sama, makanya kita sudah menyebutnya dengan status B U D A Y A. Atas status itulah kita melakukannya tidak dengan dendam, hanya sebuah permaianan yang ramai-ramai juga kita riuh dan sorakin, walaupun kadang orang-orang diluar ngali mendengarnya ngeri apalagi melihatnya.

Mari melakukannya da Bente, di ujung desa tempat dimana biasa kita pilihkan.
Layaknya waktu permainan sepak bola, waktu terbaik adalah setelah kewajiban Asyhar-mu ditunaikan. Mula-mula bocah ingusan memulainya tanpa aba-aba, tanpa juri, tanpa penonton, tanpa mengetahui bahwa yang ia lakukan adalah mempelajari kekerasan. Tapi itulah pilihan sebagai lelaki desa, untuk menjadi lelaki jantan kau harus membuka bajumu, mengepalkan tanganmu, mendobrak puluhan lawan di depanmu yang juga siap dengan kepalan tangan dan dahi menyeringai.
Lama-lama arena tanding makin ramai, permainan itu naik kelas, bocah dua belasan tahun menggantikan bocah ingusan. Tiap bocah memasuki gerombolannya dimana kedua kubu telah dibagi berdasar kampung masing-masing yakni Kampung Atas melawan Kampung Bawah. Mereka akan dikelilingi penonton yang berdesakan sekaligus juri untuk melerai ketika pertikaian tak seimbang. Sebab ini bukanlah mencari yang menang atau yang kalah, justru yang diperlukan adalah keseimbangan antara kedua kubu. Dua puluh menit kemudian, remaja tujuh belasan berburu arena menyingkirkan bocah-bocah yang telah babak belur. Setelah itu dewasa dua pulahan tahun masuk lapangan tanding, baku hantam tangan-tangan kekar bergemuruh riuh. Dan akan makin riuh menjelang Adzan Magrib sebab diakhir waktu kelompok umur tak dibatasi, dua puluh lima tahun ke atas adalah puncaknya. Lalu ketika panggilan sholat itu didengungkan semua akan berteriak ”bubar dan selesai untuk hari ini”, sebab kau harus menaruh hormat atas Suara itu untuk menunaikan kewajibanmu menghadap yang Maha Memiliki Jiwa. Mereka bergegas pulang sembari bercerita kegirangan meski ia telah babak belur namun ia yakin besok akan kuat lagi.
Esok hari diwaktu yang sama dan di arena yang sama pula, seperti kemarin para lelaki desa tumpah ruah lagi di tempat itu, mencari lawan seimbang untuk berbaku hantam ala laki-laki sekaligus melestarikan kebudayaan desa yang sudah turun temurun dilakukan kakek moyang kita sejak dahulu.
bruk..dar..prak..bur..gruk..hui..huip..brar..par..hui...!!!!!. tiga minggu selesai sebab kemarau telah tampak, itu artinya musim tanam bawang akan segera kita mulai. Pulanglah sampai musim tanam berikutnya.
Hujan tak datang lagi dan mulailah menanam biji-biji bawang yang kelak beranak pinak dengan daun setinggi paha orang dewasa. Harapan itu sepertinya akan terwujud setelah memasuki akhir Maret, tanda-tanda itu mulai terlihat. Benih biji itu tumbuh dengan tunas tegak bongsor, daunya hijau bersih nan elok. Memasuki April petani-petani semakin semangat nggongga tolo, subu-subuh lao sampro, pagi owa ra bui, sore lao sampro wali dan malam kacampo nuntu politik. Kenapa Politik?? kita juga butuh politik bung.... ini adalah tahun politik, lebih-lebih bulan politik. 9 April 2009 nanti pemilihan anggota legislatif akan berlaku atas tanda contreng atau centang. Tidak seperti lima tahun lalu yang menggunakan paku untuk mencoblos surat suara. Kata bapak Pemimpin bangsa kita, perubahan pemberian hak suara itu bertujuan untuk mendidik masyarakat kita dalam berdemokrasi sekaligus mengukur sejauh mana tingkat pendidikan bangsa. Orang seperti kita yang tinggal di desa terpencil seperti ini tak pernah peduli dengan alasan seperti itu, kita hanya menjalankan apa yang dikatakan pemimpin kita. Lagi pula agama mengajarkan ”Patuhilahilah pemimpinmu”. Jadi disamping sibuk dengan tanaman, buatlah kita punya waktu untuk duduk ramai-ramai beradu mulut sekaligus beradu jagoan masing-masing. Dan engkau tahu, dari 9 orang dijatahkan untuk Dapil 3 Kabupaten Bima, ada ratusan calon yang mengimpikan kursi empuk di kantor dewan yang terhormat tersebut. Bayangkan Ngali saja ada 12 lebih Caleg yang akan berkompetisi, tapi menurut perkembangannya hanya akan ada 3 pesaing yang difavoritkan. Dan mulailah tumpahkan segala macam logistik kampanye dari sabun mandi, derterjen, minyak goreng, mie, gula lain sampai uang ratusan ribu per orang.
Pasang sana pasang sini dan saatnya mencontreng, orang-orang sibuk kesana kemari, hitung-menghitung suara, tanda tangan ini itu dan rampunglah semuanya. Caleg Ngali tak ada yang tersangkut. Menangis tidak, bergembirapun tidak Yang tersisa hanyalah serapah-serapah para tim sukses caleg, mengumpat kiri kanan para pemilih yang ambil barang/uang tapi calegnya tidak dicontreng. Dan yang masih tersisa lama mungkin adalah ledekan antara tim sukses yang kadang berubah jadi dendam (yang tidak) kesumat.
Politik sudah berakhir untuk sementara kawan...!!! engkau harus siap bahwa politik sering mengecewakanmu, dan itulah yang terjadi sekarang. Mari kita kembali ke ladang kita, berjalan-jalan dan mengajak bawang-bawangmu berbincang tentang politik uang. Dia tak mengerti itu kawan, dia hanya tahu bahwa pupuk dan obat yang dibutuhkan dan hanya sedikit doamu agar hujan tak datang hingga akhir musim.
Akhir April, Mei memulai. Kelam langit kelihatan tak bersahabat, petani gundah, waspada (belum siaga). Dan yang suram itu akhirnya menyapa juga meski tak diundang. Mulanya hanya setitik embun, sebentar lagi akan banjir~setidaknya untuk ukuran sepetak sawah. Tumpahan langit itu menderas. Meski tanpa ba bi bu, tanpa dentum, tanpa gelegar juga tanpa kilat, ia datang ramai ramai, semakin riak mengguyur isi bumi. Para petani pun berhamburan dari kolong-kolong rumah mereka, berlari kencang menenteng pacul dan tembilang menggapai sawah-sawah mereka sembari berteriak, mengumpat, mencemoh dan sedikit berseloroh diantara mereka. Di hamparan sawah itu mereka menggali, membongkar menyeret gumpalan-gumpalan tanah supaya air tak menggenangi deretan bawang yang mulai berbiji. Mereka berpacu dengan tumpahan air dari langit yang makin lama makin menggigil tapi kau tak akan merasa pada saat itu sebab kau hanya memikirkan bawangmu. Dua puluh menit hujan reda, petani pun pulang sedikit tergopoh menggigil kedinginan, mengumpat hujan yang meski tak lama tapi menakutkan. Engkau tak pernah tahu sebentar lagi atau besok atau lusa atau kapanpun ia akan datang lagi. Engkau hanya perlu siap, kali ini siaga sebab pertanda itu telah kau lihat. Ia akan datang melebihi yang sekarang dan kau tak bisa membendungnya.
Dan benar saja, pagi-pagi ia muncul dengan rintiknya, kali ini ia memulai dengan pertanda, rintik, gelegar dan kilatan ratusan juta watt listrik alam menggemparkan bumi mbojo sesisinya. Dua anak manusia tewas seketika disambar gledek, satu orang petani Ngali dan satunya lagi orang Sila. Barang elektronik pun tak luput, belasan tivi jadi blank, receiver hangus dan LNB rontok sinyalnya. Engkau tak perlu memikirkan barang apa yang rusak, kau hanya perlu memastikan bawang-bawangmu masih bisa dipanen.
Merupakan hal biasa disini, ketika hujan turun bukan pada musimnya mereka akan berlarian menenteng pacul dan tembilang memburu cairan yang menggenangi petak-petak bawang. Engkau tak perlu tahu air sebanyak ini datang dari mana, engkau juga tak perlu tahu ke mana air ini akan terseret mengalir, yang terpenting adalah memastikan bahwa genangan air tak ada di sawahmu. urusan sawah siapa yang paling parah dan sawah siapa yang tak begitu parah kita bicara nanti malam setelah hujan ini tak lagi menusuk punggung dan dadamu. Teruslah memacul, teruslah menggali meski ribuan kerikil cair yang dingin itu menusuk urat nadimu, kalian adalah pahlawan- pahlawan setidaknya untuk keluargamu.
Dua hari, tiga hari, empat hari Rahmat Tuhan itu masih betah untuk datang, tapi konteks sekarang bukanlah Rahmat melainkan bencana. Orang mulai berpikir ini sebab apa, sehingga sebuah harapan yang dirawat berminggu minggu tiba tiba disapu hujan empat hari. Masih adakah yang tersisa? tentu ada, tapi hanya segelintir yang terbahak, mungkin keberuntungannya, tapi yang jelas itu rejekinya. Sebagian berseloroh siapa yang bawangnya bengkok, daun menguning dan umbinya tak tumbuh itu akibat dari Rinso. Ya para pemilih yang menerima berkilo kilo rinso tapi tak jujur untuk mencontreng. Sebagian lain menengok sejarah sebab jika tahun politik datang maka tak usah banyak berharap, petani bawang akan terkapar. Sebab politik bukanlah kejujuran, ia ajang kotor. maka waktu yang kotor tidak mungkin mendapatkan hasil yang bagus. Tapi hal itu dekat dengan mitos dan kau harus mengakui bahwa sejarah mencatat dalam ingatanmu.
Mei telah dipertengahan sementara petani bawang ditengah bimbang. Bawang-bawang berbiji gumpal, membesar dan memerah, sebentar lagi akan dipanen. Si empu bawang terus merawat, menyiram, memupuk, menyemprot meski muka terlihat kusut, kecut, tapi tetap diusahakan untuk tersenyum ramah. Mengapa engkau kusut padahal bawangmu berbiji gempal? Tidak! ia hanya kelihatan besar tapi yang sebenarnya ia busuk, ya pantatnya busuk, akar-akarnya tak kuat mengepal, tunasnya melepuh, pucuknya menjulur tak rapi, menguning kemudian layu. Memang tidak semuanya, ya ada setumpuk, dua, tiga, empat, lima tumpuk. Ya sedikit, lumayan, banyak, amat banyak, amat sangat banyak. Karena itu kau tak akan kuat untuk tegar.
Cuaca kini mulai tenang, hujan tak lagi bersua, mentari seperti biasa menyapa dari timur makin lama makin mengilau, makin perih, terik memerah kemudian teduh dan berpamitan untuk istrahat. Mudah-mudahan esok kau masih bisa melihatku, lalu kita akan berucap terima kasih. Setidaknya langit kini masih memberi harapan meski harapan itu telah hangus separuh ujung, kita hanya bisa berdoa dan berusaha, yang di Atas lah yang menentukan.
Biji biji bawang semakin memerah, semakin keras dan tua, sebagian lain masih muda. Ia butuh enam puluh hari untuk menjadi tua(sejak ia ditanam) kemudian layak untuk dipanen. Jika kau menginginkan biji itu lebih gempal dan keras, kau perlu menunda panen sepuluh hari lagi. Hari ini perkiraan akan cerah seperti biasa. Tapi kamu salah kawan. sebab matahari baru separuh jalan lalu tiba-tiba ia disembunyikan. Itu pertanda. Benar saja, tak menunggu lama rintikan itu memulai awal yang deras, menderas, makin deras. Meskipun hari ini hujan lumayan deras, petani bawang masih punya sedikit tegar, esok akan lesu, lusa makin lesu sebab hujan belum ingin beranjak. Setelah puas behari-hari membanjiri petak-petak berisi biji merah itu hujanpun meredup, kemudian hilang. Para petani bersegera memanen bawang-bawangnya khawatir biji-biji itu banyak membusuk. Setidaknya ada yang masih bisa diselamatkan. Satu dua kelompok memanen, tiga empat menyusul, lima, enam dan seterusnya mengikuti.
Mei hampir di ujung, terpal-terpal digelar ditengah sawah untuk menutupi tumpukan hasil panen itu. Bawang yang dipanen tak bisa langsung dijual, ia perlu dijemur seminggu hingga daunnya lumayan kering untuk bisa diikat sehingga ketika kau menimbangnya ia tak terbengkalai dari setumpuk ikatan timbang 100 Kg per sekali angkat. Makanya terpal dibutuhkan untuk menutup dan menjaga agar tumpukan bawang yang dijemur itu tak basah oleh hujan tak terduga dan embun yang turun di waktu seperempat malam.
Seminggu setelah ia dijemur, tangan-tangan lincah dan kekar mengeliat diwaktu malam, mengikat bawang-bawang yang sudah siap ditimbang. Ia akan dihargai lumayan tinggi 600 ribu per 1 Kwintal. Meski tak sebagus harga setahun lalu tapi itu lebih dari cukup mengembalikan modalmu dan selebihnya mampu menghidupi keluargamu cukup sampai setahun berikutnya meski itu sangat seret untuk kebutuhan keluargamu. Lagi pula kau masih punya kesempatan musim tanam kedua untuk melakukan lebih baik lagi.
Di awal Juli musim panen akan segera berakhir, sebentar lagi musim tanam kedua akan dimulai. Hamparan sawah yang tadinya hijau kini berganti kuning-coklat. Di otak kita warna seperti itu mengindikasikan kekeringan. Ya lihat saja di bukit-buki Jati itu, pohon Jati punya cara untuk beradaptasi di musim kemarau, ia akan menggugurkan daunnya ketika air sulit ia dapatkan. Makanya hamparan Jati akan terlihat kuning-coklat ketika musim kemarau telah dipertengahan. Lalu apa yang dilakukan petani Ngali? Mereka senang di satu sisi dan kuatir di lain sisi. Sebab bawang-bawang di musim tanam kedua tak kuatir akan hujan, tapi sangat gusar bila kehabisab air untuk pengairan. Jadi musim tanam kedua biasanya petani akan mengurangi garapan mereka. Begitulah cara mereka berhitung sebelum memulai menanam biji-biji merah itu. Tapi satu hal yang pasti, bulan Juli merupakan bulan yang mereka harapkan untuk melakukan hal terbaik untuk masa tanam yang terakhir di musim ini.

2 komentar:

  1. ass. sy Paox Iben Mudhaffar, redaktur majalah SWD. kaami sangat tertarik dengan tulisan anda, sangat menggugah dan membuka cakrawala budaya. bolehkah kami muat dimajalah kami? tanks. wass

    untuk konfirmasi hub 085239733399
    atau fb sy PAOX IBEN

    BalasHapus
  2. Tulisan yang syarat inspirasi...teruslah berkarya, teruslah berjuang, jangan biarkan cerita berlalu tanpa makna...keep spirit my best friend

    BalasHapus