Tahun 2013 merupakan tahun politik bagi rakyat Indonesia memang benar adanya, tak terkecuali di pulau seberang timur Indonesia. Tak perlu menunggu lama seperti sebagian masyarakat Indonesia lainnya dalam ajang pilpres tahun 2014, Masyarakat kabupaten Bima, hampir seluruh Desa dalam wilayah kabupaten ini menyelenggarakan pesta demokrasinya dalam tingkatan desa. Ya pemilihan Kepala Desa di kabupaten bima dilaksanakan serentak di medio akhir 2012 dan awal 2013. Masyarakat Ngali pada khususnya melaksanakan ajang perpolitik desa ini tepat pada 28 Januari 2013.
Lalu apa kehendakMU…
Mari sedikit menengok ke belakang.
Tahun memulai yang baru, suara-suara itu masih samar-samar, lalu menggeliat, sumbang, memekik dan terkotak kotak. Ya suara itu adalah suara rakyat ngali dalam mengusung para calon kades ngali periode 2013 – 2019. Pada akhirnya tersebutlah 8 (delapan) nama yang masuk daftar kandidat kades ngali yang kemudian ditentukan nomor urut dan lambang-lambang mereka dalam tanda gambar dari buah dan biji-bijian. Selanjutnya nomor dan tanda gambar itulah yang akan dipilih oleh para pemilih ngali. Lalu pada tanggal pemilihan itulah pemilih itu berjubel dan berdesak desakan di satu TPS yang disediakan oleh Panitia yang berada persis sebelah kantor balai desa ngali. Proses pemungutan suara berjalan lancar yang dimulai pukul 08.12 dan berakhir pukul 19.00 waktu setempat kemudian proses penghitungan suara dilanjutkan esok harinya. Kendati demikian, namun ada hal yang ironis….
Mari kita membedah nila setitik itu
Sebutlah diri penulis sebagai contohnya (meski hal ini tak etis dalam jurnalis). Sejak tahun 2010 lalu penulis sudah pindah keluar ngali dan mendapatkan KTP diluar, bahkan penulis sudah berkeluarga dan menetap di kota yang merupakan “adik kandung” kabupaten ini, meski terkadang pulang untuk menengok orang tua dan kerabat. Tapi kenyataannya, nama penulis masih tercantum dalam daftar pemilih dan mendapatkan undangan untuk memilih calon Kepala Desa Ngali periode 2013- 2019. Ini mungkin kekhilafan panitia, tapi kenyataanya kesalahan ini masih terjadi juga pada pemilih-pemilih lain yang sudah pindah bertahun tahun. Contoh lain adalah salah seorang teman penulis sudah malang melintang bekerja di seberang pulau, kemudian datang ke ngali tepat diawal tahun ini. Lalu kemudian ia mendapatkan undangan yang sama dengan para pemilh. Saya menyebutnya sebagai kesemrawutan pendataan pemilih.
Pada tingkatan pemilihan Presiden maupun kepala daerah, pendataan pemilih merupakan salah satu tahapan yang sangat krusial. Pada tahap ini proses memilah daftar penduduk untuk menjadi pemilih harus melalui beberapa tahap. Mulai dari data induk yang berasal dari Dinas Catatan Sipil dalam bentuk DP4 bekemudian diolah secara administrasi. Setelah lolos secara administrasi maka akan diverifikasi secara factual oleh petugas pendata. Rekapan hasilnya kemudian diumumkan ke public untuk diuji ke masyarakat. disini akan terjadi penambahan dan pengurangan jumlah pemilih. Pada tahap inilah pemutakhiran data itu diperlukan sehingga akhirnya ditetapkan Data Pemilih Tetap.
Anda tahu, proses ini tidak dilakukan panitia pilkades Ngali. Saya menduga mereka mendata berdasarkan kartu keluarga yang dimiliki oleh masing-masing kepala keluarga sehingga tidak mengetahui mana anggota keluarga sudah pindah dan mana yang tidak berada di tempat. Tentu saja ini rawan sekali dengan manipulasi dan pembengkakan Data pemilih.
Kesemrawutan berikutnya adalah panitia hanya membentuk 1 (satu)Tempat pemungutan suara padahal jumlah pemilih yang terdaftar melampui 4550 pemilih. Anda bisa bayangkan terjadinya penumpukan dan desak-desakan pemilih yang melakukan pencoblosan. Dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang jumlah pemilih dalam satu TPS maksimal 600 Pemilih. Jika anda membandingkan dengan angka 4550 yang dilakukan panitia pilkades ngali, mungkin kita akan tercengan melihat antrian yang terjadi di satu titik itu.
Kesemrawutan berikutnya yang paling urgen menurut saya adalah, ketika pemilih menukarkan undangan untuk memilih dengan surat suara kepada panitia. Hal yang paling urgen disini adalah panitia harus melihat daftar nama yang ada di rekapiltulasi DPT itu, apakah sesuai dengan yang terdapat dalam undangan yang diserahkan pemilih. Apakah nama pemilih tersebut ada dalam DPT, apakah nama tersebut tidak melakukan pencoblosan 2 kali. Pada kasus ini Panitia hanya melakukan pemanggilan atas nama yang tertera dalam undangan yang diserahkan oleh pemilih kemudian langsung ditukarkan dengan surat suara tanpa melihat nama tersebut ada dalam DPT. Hal ini rawan sekali dengan manipulasi undangan yang diberikan panitia. Asumsi negative saya, bisa saja salah satu pendukung calon kades mengerahkan massa dengan mencetak banyak undangan untuk memilih dengan tanda tangan palsu dan stempel yang dibuat semirip mungkin. Coba bayangkan seberapa sih kita bikin stempel, hanya 10 menit dengan biaya 30 ribu. (bersambung)